Globalisasi telah menyebabkan dunia seakan sempit, nilai-nilai kebudayaan lokal semakin tersudut oleh kebudayaan barat yang terfasilitasi oleh media cetak, elektronik, maupun internet.
“Kecerdasan dalam kebudayaan kita tidak ada karena kelemahan kita melihat perbedaan”. Kata Ashad Kusuma Jaya, Budayawan asal Yogyakarta pada diskusi Manajemen Kebudayaan yang digelar
Hilangnya makna-makna simbol yang selama ini menjadi kekuatan bagi masyarakat, juga perlu dipahami secara mendalam. Menurutnya, kebudayaan yang sudah tidak fungsional tidak perlu dipertahankan “kalau kebudayaan tidak berperan fungsional, kenapa perlu dipertahankan?”kata Pimpinan Padepokan Syeh Siti Jenar ini.
Menurutnya kebudayaan yang perlu dibangun saat ini adalah dengan melihat perbedaan secara cerdas, dan membuat perbedaan-perbedaan tersebut menjadi kekuatan “memahami perbedaan kebudaan yang ada, namun juga dibarengi membangun persamaan” kata Budayawan, yang juga penulis buku Natural Beauty, Inner Beauty ini. Persamaan yang dimaksud adalah kesamaan tujuan, tujuan bersama yang tidak lain adalah cita-cita bangsa ini.
Dan, Ashad menambahkan, kesamaan tersebut harus dimanifestasikan dalam bentuk karya bersama “bicaralah dengan bahasa kerja dan karya” kata mantan ketua HMI cabang Yogyakata periode 1996-1997 ini dalam bahasa puisi.
Seniman Kita Gagap Perubahan
Seniman Kita Gagap Perubahan
Sementara, pada waktu yang sama, Jarot C Setyoko, Budayawan Banyumas mengatakan, bahwa kita perlu membangun budaya sendiri, format perlawanan terhadap globalisasi perlu kita rubah menjadi penyiasatan.
Jarot, yang juga wartawan Senior Radar Banyumas tersebut mengatakan, perlu bagi kita untuk membangun jejaring yang mempunyai energi sama untuk mensiasati globalisasi supaya kita tidak hanyut pada arus global saat ini.
Menurutnya, kebudayaan ini perlu dibangun lewat kesenian yang mampu mentransformasikan nilai-nilai luhur terhadap masyarakat sekitar. “Seniman kita gagap akan perubahan, kemampuan seniman untuk merefleksikan sejarah juga hilang, karena semua diorientasikan pada materi” katanya.
Oleh karena itu, menurut Jarot , realitas seperti ini tidak bisa dibiarkan. Membangun kesadaran kritis sangat diperlukan untuk mensiasati hal ini, namun bukan asal kritis yang asal menolak, tetapi meminjam energi mereka (globalisasi) untuk mewujudkan gerak keinginan kita, “katanya.
Kebudayaan Indonesia perlu dibangun dengan semangat nasionalisme, karena Indonesia sebagai negara belum selesai dalam menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya “Nasionalisme, selain sebagai semangat perlawanan mengalahkan penjajah, juga merupakan sarana bagi kita untuk berpihak pada rakyat” kata Jarot, yang juga mantan aktifis mahasiswa ini.
* Penulis adalah pengurus Lapmi-Purwokerto
Sumber: http://hminews.com
No comments:
Post a Comment