Saturday, January 15, 2011

Ketahanan Pangan Indonesia yang dipertanyakan?

Mencermati tulisan Ivan Hadar disatu surat kabar ternama 2 tahun yang lalu perlu kita kaji ulang. Sebuah judul yang menggelitik yaitu anjloknya Ketahanan pangan. Dimulai dengan analisis yang sangat tajam bahwa Indonesia masuk perangkap pangan Negara maju dan Kapitalisme global, benarkah demikian? Bila kita lihat arus deras Negara maju tentunya mereka mempunyai kepentingan dan agenda yang sistimatis dengan mengusung ekonomi pasar bebas yang sebebas-bebasnya, ya itulah kapitalisme yang menguji ketahanan pangan kita, tujuh komenditas utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat bergantung pada impor. (Semoga Allah memudahkan atas niatan penulis untuk menanam padi dan non beras lainnya walau dalam sekala kecil ditahun ini dan tidak ada suatu kendala, amin) lonjakan harga senantiasa kita dengar tak kunjung menyurut dan menurun. Harga terus melambung terjadi lonjakan harga pangan dan komenditas pertanian lainnya. Akibatnya, terjadilah penurunan ketahanan pangan dengan indikasi mengenaskan, mengaru birukan sehingga kita tidak lagi melihat suatu kesalehan global nurani kemanusiaan kita terusik dengan kenyataan empiris yaitu gizi buruk, kematian anak balita ibu yang melahirkan, dan semua aspek di kalangan masyarakat bawah penuh dengan persoalan sanitasi dan kesehatan yang memprihatinkan.
Uraian Ivan sedikit menyentil Spirit Penguatan ketahanan pangan Bisa ditemui dalam judul utama disertasi doctoral SBY, “Pembanguan Pertanian dan Pedesaan sebagai upaya Mengatasi kemiskinan dan Pengangguran” melihat judulnya saya teringat juga judul skripsi saya walau dua tingkat dibawahnya dan sekarang tersimpan juga di perpustakaan ST Ignatius Yogyakarta. Judul yang saya sesali sampai saat ini kenapa Pembinaan warga gereja hkbp jogjakarta kenapa tidak tentang keumatan dalam konteks keislaman. Sesungguhnya saya juga terjebak dari sisi jurusan perbandingan agama yang saya ambil saat itu ya itulah pilihan saya yang setelah itu saya anggap ya sudah lah. Apakah demikian ketika misalnya SBY menulis disertasi doktoralnya seperti yang saya rasakan, tentunya jawabanya adalah tak mungkin lah saya kan Jendral anda kan Raja ya, saya saja protes pada Sri Sultan Hamangkubono serta menggugat ke Keistimewaannya. Kira-kira demikianlah tanggapan dalam benak saya walau itu sesungguhnya tidak terjadi. Yang pasti Ivan Hadar menyayangkan, sayang katanya, Kebijakan Pemerintah SBY selama ini dinilai rapor merah alias mengorbankan pertanian dipedesaan sebagai sector penyerap tenaga kerja terbanyak ( das sain dan dasolen tak sesuai ya pak beye!) Lebih lanjut paparan Ivan juga permasalahan yang sangat klasik tentang rahasia umum penyunatan disana sini, (Khitanan massal yang tersistimatis di brokrasi kita pen.) dan impor produk pertanian yang menyengsarakan petani dan memperburuk pembangunan pertanian itu sendiri katanya. Kajian lebih lanjut saat ini pertumbuhan ekonomi lebih bertumpu pada sector konsumtif dan padat modal. Memang bukan menjadi keheranan dan kita terheran-heran juga ya tiap pertambahan pertumbuhan satu persen, bisa membuka 300.000 sampai 400.000 lapangan kerja, kini hanya mampu menampung 178.000 lapangan kerja.( nah lho sarjana bagaimana ? kewirausahaan lah!)
Mereka ( menurut saya ya kita) yang jatuh miskin pun semakin bertambah ( semoga tidak miskin hati, kayak mereka Konglomemeras rakyat itu ! saya tidak dendam lho apa lagi membenci Cuma kita terjebak dalam satu pusaran sistim kapitalisme yang akut) ya kita ini menjadi petani gurem, buruh tani (papun, pun mamberu mbu, silih…ku .kalak napogos nina kita ) sebagaimana dikatakan (idokken) world food Programme (WFP, 2005), mereka yang miskin dan kekurangan gizi di Indonesia dipastikan sulit keluar dari belenggu kemiskinan tanpa perubahan kebijakan yang signifikan. ( disinilah saya yakin seyakin yakinnya bukan karena kita malas namun akibat dari tidak berjalannya kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang tak terkontrol bahkan sering salah sasaran dan diskriminatif). Persyaratan pengamanan pangan masyarakat bukan hanya pada pengadaan bahan pangan, namun akseblitas pada pangan bagi mereka yang lapar. Sesungguhnya ketimpangan dan distribusi dan bahayanya dalam sebuah pertumbuhan ekonomi yang sering jauh dari harapan. Di Negara-negara berkembang sudah jauh-jauh hari disadari. Si simon dan Myrdal telah mengingatkan, kesenjangan penghasilan dan menunjukkan Trickle- down effect sulit dicapai. Di Negara berkembang termasuk di Indonesia sejak tahun 80 an dilakukan sebuah sistim Kontrol oleh Negara atas sektor pertanian dengan tujuan mengamankan keterjangkauan harga produk pertanian bagi penduduk kota yang kian meningkat, katanya. Dipertegas lagi 10 tahun kemudian lewat kebijakan Struktural Adjustment Program oleh IMF sebagai persaratan mutlak pemberian bantuan dan utang kepada Negara berkembang. Brandt menyebut program ini sebagai masalah makro politik, yaitu keharusan mundurnya Negara-negara dari sektor dan jasa pertanian serta liberalisasi kebijakan harga, pasar, dan perdagangan pertanian.selanjutnya...
( Bersambung)

No comments:

Post a Comment